Tentang Sjafruddin Prawiranegara dan HAMKA
Selasa, 08/11/2011 20:07 WIB
Agak marindiang bulu kuduak Ambo Mambaco berita Padangmedia.com jo Republika.com tantang Buya Hamka jo Sjafruddin Prawiranegara baru diangkek jadi pahlawan nasional.
padangmedia.com - PADANG - Sjafruddin Prawiranegara
adalah pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Perannya
sangat besar pada saat Indonesia dilanda agresi militer Belanda II. Saat
Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dan Soekarno-Hatta ditawan Belanda,
ialah yang ditugasi membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI) pada 22 Desember 1948 di Sumatera.
Berikut riwayat hidup Syafruddin seperti dikutip dari wikipedia.
Syafruddin Prawiranegara lahir di Serang, Banten pada 28 Februari 1911
dan meninggal di Jakarta, 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun. Tokoh
yang lahir di Anyar Kidul itu memiliki darah keturunan Sunda Banten dan
Minangkabau. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung
di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri.
Ia menikah dengan putri bangsawan Banten.
Syafruddin menempuh pendidikan ELS pada tahun 1925, dilanjutkan ke
MULO di Madiun pada tahun 1928, dan AMS di Bandung pada tahun 1931.
Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi
Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada
tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini
setara dengan Magister Hukum).
Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta
untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno
dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II,
kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948. Syafruddin
menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI pada 1948.
Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan
Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya
Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13
Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil
Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima
pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli
1949 di Jakarta.
Sementara, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan
singkatan namanya HAMKA, lahir di desa kampung Molek, Maninjau,
Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981
pada umur 73 tahun). Ia adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan
aktivis politik.
Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang merupakan
pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah
pada tahun 1906.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam
maupun Barat. Hamka juga aktif di Muhammadiyah. Mulai tahun 1928, beliau
mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Ia terpilih menjadi
ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi
Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Dan,
pada 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah.
Ia juga menjadi anggota partai politik Sarekat Islam, menantang penjajah
Belanda melalui pidato dan kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan.
Selain aktif di bidang keagamaan dan politik, Hamka merupakan
seorang wartawan, sastrawan, penulis, editor, dan penerbit. Hamka
menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan
cerpen. Sejumlah karyanya seperti Tafsir al-Azhar dan novel-novelnya,
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan
Merantau ke Deli. (rin)
Sjafruddin Prawiranegara, Sang Penyelamat Republik.
Sjafruddin Prawiranegara Layak Dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional
Senin, 27 Juni 2011 09:32 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG – Pemerintah diminta
untuk segera mengukuhkan Sjafruddin Prawiranegara menjadi pahlawan
nasional. Desakan pengukuhan gelar Pahlawan Nasional kepada salah satu
tokoh nasional itu, mengemuka dalam Seminar Satu Abad Mr Sjafruddin
Prawiranegara, di Palembang, Ahad (26/6).
Dalam seminar itu
terungkap jejak kepahlawanan Sjafruddin, kendati masih diwarnai tafsir
sejarah yang berbeda antara jiwa sebagai pejuang dan pahlawan dengan
posisi sebagai "pemberontak" bangsa melalui kiprahnya saat itu.
"Pengukuhan
Sjafruddin sebagai Pahlawan Nasional sudah seharusnya segera
direalisasikan, mengingat beliau sebagai bagian dari pejuang dan pendiri
negara," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri), Prof
Amzulian Rivai, salah satu narasumber pada seminar itu.
Menurut
dia, desakan mengukuhkan Sjafruddin Prawiranegara sebagai pahlawan itu
dinilai sangat realistis, mengingat peranannya saat berjuang membela
negara dan menjadi pemimpin negeri ini ketika Bung Karno dan Bung Hatta
dibuang Belanda ke Bangka.
Rivai menilai, sosok Sjafruddin
Prawiranegara juga merupakan pejabat yang jujur dan loyal terhadap
rakyat. "Buktinya, meskipun sudah menjadi pemimpin Bank Indonesia dan
Menteri Keuangan, Sjafruddin masih menanamkan nilai-nilai luhur bangsa
melalui budaya antikorupsi dan kejujuran," ujarnya.
Rivai
menambahkan, banyak hal yang menjadi teladan dari sikap Sjafruddin yang
saat ini mulai jarang ditemui di kalangan pejabat umumnya. "Oleh sebab
itu, sudah sepatutnya pemerintah menyegerakan untuk memberikan
pengukuhan kepada beliau menjadi pahlawan nasional," tegasnya.
Hal
senada juga diungkapkan, Sjafruddin, salah seorang peserta seminar yang
kebetulan sempat mengenal sosok Mr Sjafruddin Prawiranegara di kala
masih hidup yang menjadi bahan penelitian skripsinya. Sjafruddin yang
namanya kebetulan sama, mengatakan, sosok kepemimpinan dan perjuangan
tokoh nasional itu dinilai sangat luar biasa, tetapi selama ini fakta
sejarah tersebut cenderung diingkari.
"Bukan hanya pencipta mata
uang pertama "Oeang Republik Indonesia" (ORI), tapi beliau juga sempat
memimpin bangsa ini. Namun sampai kini sejak pemerintah Orde Lama dan
diperparah ketika Orde Baru, sosok Sjafruddin itu dianggap pemberontak
negara," kata Sjafruddin menyayangkan.
Sumber: Antara